Selamat Datang Di Media Informasi dan Komunikasi Dari Team-08
Biasakan mencantumkan sumber yang anda kutip, baik sebagian maupun seluruh dari tulisan dan gambar disini. Indahnya berbagi.

Persimpangan Jalan Metodologi PNPM Mandiri Perkotaan

Sebagai suatu kegiatan yang mempunyai ikon penanggulangan kemiskinan, pertanyaan penting dalam mengukur keberhasilan PNPM Mandiri Perkotaan adalah seberapa besar kemampuannya berkontribusi mengurangi angka kemiskinan. Ternyata, jawabannya sulit didapatkan, jika yang dimaksudkan adalah klaim-klaim yang termanifestasi pada sederet angka. Hal ini juga dialami oleh Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Budi Yuwono (Suara Karya Online, edisi 25 Mei 2010).

Bahkan, hingga saat ini, pemerintah belum memiliki data berapa Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang sudah mandiri dan menerima bantuan permodalan lebih besar seperti kredit usaha rakyat (KUR). "Selama bergabung di PNPM, mereka (masyarakat) kan cuma dapat bantuan mulai dari Rp500.000 dan tanpa agunan," kata Budi Yuwono kepada wartawan usai kunjungan lapangan ke KSM Kelurahan Muarasari, Bogor, Jawa Barat, Senin (24/5).

Ibaratnya, PNPM Mandiri Perkotaan sudah dirasakan manfaatnya, tapi ketika diminta untuk disajikan dalam bentuk data kuantitatif, yang terjadi adalah kesulitan untuk melakukannya.

Perdebatan terhadap klaim kegagalan dan keberhasilan PNPM Mandiri Perkotaan pun kian nyaring terdengar. Sementara, program ini semakin tidak menarik dibahas dari perspektif metodologi pelaksanannya. Padahal, persoalan ini akan lebih nyambung manakala semua berangkat dari perspektif metodologi yang diterapkan pada pola-pola pendampingan yang dilakukan. Penghakiman kegagalan ataupun pujian terhadap keberhasilan program ini tanpa menelusur pada metodologi apa yang dipakai, hanya akan berakibat pada syak wasangka dan polemik yang tidak berkesudahan, terlebih mengingat pembiayaan yang besar untuk kegiatan ini.

PNPM Mandiri Perkotaan adalah salah satu program pemerintah, yang dalam pelaksanaannya secara metodologis, menggunakan metode partisipatoris. Metodologi ini mempunyai ciri yang mencolok dibandingkan metodologi konvensional, sehingga dalam beberapa hal dianggap kurang lazim. Hal mencolok tersebut adalah sikapnya yang tegas-tegas memihak pada subyek kegiatan. Sementara metodologi konvensional berupaya bersifat obyektif dengan cara menjaga jarak sosial dengan subyek. Bias ideologi adalah sesuatu yang sengaja dihindari dalam metodologi konvensional, sedangkan dalam metodologi partisipatoris bias ideologi merupakan landasan etis.

Pemberlakuan metodologi partisipatoris dirasa tepat dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan di PNPM Mandiri Perkotaan, mengingat proses penanggulangan kemiskinan selama ini yang dilakukan dengan pola-pola yang lebih mengedepankan pada metodologi konvensional, di mana definisi persoalan kemiskinan, ciri-ciri maupun kriteria kemiskinan sudah ditentukan oleh elit pengambil kebijakan, menjadi tidak tepat sasaran mengingat ciri dan kriteria kemiskinan yang begitu beragam di masyarakat.

Kemudian dilakukan koreksi atas berbagai kegagalan, dengan mengubah pola pelaksanaan yang tadinya top-down, menjadi bottom-up. Dalam perspektif dialektis, metodologi partisipatoris yang dilakukan dalam kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan lahir sebagai reaksi atas beberapa kegagalan yang dialami oleh metodologi konvensional, di mana metodelogi ini bersifat ekstraktif terhadap obyek dan cenderung menciptakan ketidakberdayaan masyarakat.

Ironisya, dalam metodologi konvensional, yang mengalami pemberdayaan adalah para pendamping atau fasilitator, karena logika dan prosedur metodologi konvensional justru memberikan ruang gerak kepada mereka untuk menjadi kelompok strategis.

Karakter penting dalam kegiatan atau program yang berbasis metodologi partisipatoris, antara lain, pelaku menjadi bagian dari subyek sekaligus obyek, sehingga pelaksanaan kegiatan ini akhirnya memunculkan kesadaran dan tindakan masyarakat sendiri yang kemudian diharapkan mendatangkan perubahan sosial lewat kesadaran kritis yang terbangun di masyarakat.

Proses pelaksanaan dan evaluasi kegiatan bersifat dengan sendirinya (self-evidence) dan tidak dapat saling dipisahkan, karena proses itu berdasarkan pada nalar dan hati atau rasa (intellectual concience).

Dalam metodologi partisipatoris, persepsi masyarakat harus dipandang sebagai kriterium evaluasi, karena persepsi masyarakat merupakan pedoman normatif untuk perbaikan masyarakat itu sendiri. Pada kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan di masyarakat, hal ini tampak kental tercermin dalam setiap tahapan kegiatannya. Mulai dari rembug kesiapan masyarakat (RKM), Focus Grup Disscussion refleksi kemiskinan (FGD RK), pemetaan swadaya (PS), pembentukan kelembagaan lokal (BKM atau LKM) sampai pada implementasi bantuan langsung masyarakat (BLM), yang semuanya dilakukan oleh masyarakat sendiri secara partisipatoris.

Hal lain yang juga tidak boleh dilupakan adalah kegiatan yang berbasis partisipatoris lebih mementingkan proses daripada hasil. Jadi, yang dievaluasi adalah prosesnya. Jika metodologi konvensioanal mengeneralisir hasil, sedangkan pada metodologi partisipatoris yang digeneralisir adalah prosesnya.

Dari perspektif target capaian, metodologi partisipatoris mempunyai beberapa tujuan. Di antaranya, penyadaran situasi, pemberdayaan tindakan dan perubahan sosial, peningkatan pengetahuan atas dirinya, peningkatan kemampuan dan keberanian mengambil keputusan atau bersuara dan proses belajar, yaitu memahami dan mengubah kondisi.

Pada kegiatan penanggulangan kemiskinan yang berbasis metodologi konvensional, yang selalu dikejar adalah klaim-klaim universal yang didasarkan pada data kuantitatif. Klaim universal ini dapat diperoleh melalui pendekatan yang obyektif, yaitu dengan menerapkan metode penelitian ilmu alam dalam penelitian sosial. Pendamping atau fasilitator mempunyai wewenang penuh atas kontrol pelaksanaan kegiatan sampai pada pengambilan keputusan terhadap apa yang akan dilakukan di masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar berposisi sebagai obyek. Dengan melakukan kendali berbagai obyek tersebut diharapkan capaian kegiatan akan mudah dilakukan pengendalian demi tercapaiannya capaian obyek terukur, lengkap dengan segala variabelnya.

Namun kenyataannya, keyakinan pada obyektivitas yang bebas nilai tersebut telah mengakibatkan dehumanisasi. Karena, orang yang di balik metode menjadi bersikap netral, tidak bertanggung jawab terhadap informasi yang diperoleh, sehingga kadang penggunaan hasil yang terukur dari capaian kegiatan justru digunakan untuk menindas obyek, yakni masyarakat. Sehingga, ada persoalan etis yang diabaikan, yaitu nilai, etika dan ideologi, yang dibersihkan dari proses pelaksanaan kegiatan demi obyektivitas dapat dicapai.

Tantangan Metodologi Partisipatoris PNPM Mandiri Perkotaan

Dari beberapa uraian sederhana di atas tentunya kita bisa memetakan berbagai kekurangan dan kelebihan masing-masing dari dua metodologi tadi. Sehingga, benang kusut dan perdebatan keberhasilan maupun kegagalan PNPM Mandiri Perkotaan seharusnya berangkat dari metodologi apa yang diterapkan pada kegiatan tersebut. Mengukur pengurangan tingkat kemiskinan dengan parameter ukuran kemiskinan nasional pun menjadi absurd, karena kriteria kemiskinan di PNPM Mandiri Perkotaan dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif, yang sudah barang tentu berbeda dengan faktor pembandingnya.

Dalam konteks inilah sesungguhnya penerapan metodologi partisipatif mendapat suatu ujian, seberapa besar kesetiaan para pelaku dan pengambil kebijakan. Tetap konsisten ataukah harus berputar haluan?

Hal ini sesungguhnya persoalan klasik yang selalu muncul manakala sebuah kegiatan dilakukan evaluasi keberhasilannya dengan logika metodologi yang berbeda, lengkap dengan berbagai godaan untuk melakukan “instanisasi”, manakala tujuan yang digagas tak kunjung menampakkan hasil yang signifikan.

Sebagai sejarah perkembangan perdebatan metodologi, di sini dapat dirunut ketika Juergen Habermas dalam karyanya berjudul "Zur Logik der Sozialwissenschaften", 1970, melakukan penentangan terhadap pembagian kerja antara ilmu pengetahuan alam dan humaniora yang dilakukan oleh ilmuwan pada waktu itu.

“Ketika ilmu alam dan humaniora mampu hidup berdampingan baik dalam kondisi yang saling mengabaikan ataupun kalau tidak dalam situasi saling menunjukkan kehebatannya, tugas ilmu sosial harus memecahkan pembagian kerja dualisme yang menegangkan tersebut dan membawa mereka ke dalam satu atap. Artinya, tidak perlu ada lagi pemisahan secara tegas antara apa yang dimaksud dengan logika ilmu dan apa yang disebut logika humaniora.

Kedua logika ini dapat dimanfaatkan dan saling memberikan keuntungan jika diterapkan dalam rangka memahami realitas sosial, termasuk persoalan kemiskinan. Dikotomi ini kemudian pada gilirannya membawa pada suasana ambigu terhadap suatu persoalan. Contoh yang mengemuka pada waktu itu adalah ketika filsuf menentukan status keilmuan dari disiplin ekonomi.

Pada tahun 1870 dan 1880 terjadi perdebatan seru antara Schmoler dan Carl Manger. Perdebatan mereka seputar pada, “Apakah ilmu ekonomi dikategorikan dan bekerja menurut metode eksakta atau historis? Metode deduktif atau induktif dan metode abstrak atau metode empiris? Nomotetik atau ideografik?” Nomotetik adalah pengetahuan yang mencari hukum-hukum umum atau keteraturan, sedangkan ideografik adalah pengetahuan spesifik yang menyoroti gejala individual dan historis.

Perdebatan ini dimenangkan oleh kaum positivisme. Kemenangan bukan semata-mata kehebatan paradigma tersebut, akan tetapi karena dukungan komunitas ilmiah. Para filsuf yang tidak setuju dengan status itu kemudian terserap ke sosiologi. Mereka mengembangkan ekonomi dengan wawasan historis dan budaya, yang pada perkembangan lebih lanjut masuk ke dalam disiplin sosiologi ekonomi.

Meski demikian, perdebatan metode tersebut terus berlangsung di Jerman pada tahun 1960-an yang terkenal dengan debat positivisme di Jerman atau Possitivismusstreit In der Deutschen Soziologie yang melibatkan kaum positivisme logis (Popper, dkk) berhadapan dengan tokoh-tokoh mazhab kritis dari Frankfurt (Adorno, dkk).

Status ekonomi yang bergengsi ini banyak dijadikan model ideal untuk menentukan status keilmuan ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi. Kalau sosiologi ingin diakui sebagai ilmu pengetahuan, maka harus mengadopsi cara berpikir matematis, dalam hal ini statistik, sebagai metode penelitiannya. Maka timbul-lah hegemoni positivisme dalam sosiologi yang ditandai dengan dominasi logika deduktif-logis, yaitu metode survai dan statistik dalam menganalisis, bukannya metode historis dan interpretatif.

Adalah Habermas yang mencoba menentang hegemoni ini dengan mengakui kehebatan positivisme, sekaligus meletakkan positivisme sesuai dengan porsinya dalam ilmu-ilmu sosial. Habermas dengan teori kritis dan metode refleksi diri telah berhasil secara gemilang memetakan persoalan mendasar dalam sosiologi yaitu dengan cara memberikan pendasaran epistimologi dan metodologi (Nugroho, 2001).

Persimpangan Jalan Metodologi PNPM Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri Perkotaan, sebagai sebuah program yang di dalamnya terbesit upaya sekaligus cita-cita terjadinya gerakan kritis dan emansipatoris yang berpusat pada civil society guna mewujudkan visi yang transformatif, rasanya sungguh aneh bila pemberdayaan ini diagendakan dan dikendalikan oleh tangan-tangan negara. Sebab, kekuatan inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi tidak berdaya (powerless).

Kalimat ini acapkali terdengar dari teman-teman kita yang masih meyakini antara negara dengan pemberdayaan adalah dua posisi dikotomis yang tidak mungkin dipertemukan, sehingga PNPM Mandiri Perkotaan sebagai salah satu program pemberdayan masyarakat tak luput mendapat kritikan pedas, bertubi-tubi.

Secara konseptual, praduga terhadap keberadaan negara yang hegemonistik dan selalu diidentikkan dengan sumber ketidakberdayaan masyarakat, di konsep PNPM Mandiri Perkotaan rasanya bisa dibantah. Karena, konsep dari program tersebut lebih mencita-citakan terciptanya sebuah tatanan di masyarakat, yang di dalamnya terwujud harmonisasi, di mana antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat terjadi sinergi, tidak pada posisi berhadap-hadapan, apalagi terdikotomikan antara yang satu dengan lainnya.

Namun, berbagai hal yang kemudian bermuara pada klaim keberhasilan dan kegagalan sesungguhnya terletak pada inkonsistensi dan ketidaksabaran berproses ketika model pemberdayaan di program ini menjatuhkan pilihan pada metodologi partisipatoris sebagaimana dijelaskan di atas. Akhirnya, pilihannya kemudian adalah apakah kita akan kembali melakukan pola-pola pembangunan dengan cara kontrol politik yang kuat, lalu masyarakat direkayasa agar target-target yang telah ditentukan dalam cetak biru menjadi kenyataan sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya? Jika ini dilakukan, jelas kita akan terjebak pada pola pikir deduktif dalam mengevaluasi jalannya kegiatan pemberdayaan ini.

Ataukah kita akan menjatuhkan pola-pola yang berbasis pada pengetahuan teoritis yang dipakai untuk mengandaikan realita, kemudian disusun hipotesis dan instrumentasi untuk melakukan cek empiris? Jika ini benar-benar diterapkan kembali, maka capaian-capaian yang sudah ditetapkan akan mudah terukur dengan jelas, mengingat keunggulan teori ini adalah kemampuannya memberikan generalisasi dan prediksi. Tetapi kita sudah pernah mendapatkan pengalaman pahit tentang hal tersebut karena sifat deduktif (top-down) dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan seperti itu, sering dituduh bersifat teknokratis, monologal dan kurang memperhatikan realitas di masyarakat.

Pola-pola pendekatan seperti itu cenderung memahami manusia hanya sebagai obyek statis yang dapat dimanipulasi, dikontrol dan diarahkan perkembangannya. Karena merumuskan standar-standar obyektif (angka dan koefisien korelasi, misalnya) maka penganut yang berseberangan dengan teori ini mencurigai hal tersebut sebagai upaya mengebalkan sekaligus membebalkan diri dari tinjauan reflektif.

Habermas menyebut watak ini sebagai tindakan “sok bersifat ilmiah” (scientism atau scientization of politics). Jika pola-pola pendampingan keberhasilannya hanya diukur berdasarkan abstraksi teoritis semacam itu, mampukah pola-pola tersebut merumuskan standar hidup berkecukupan? Mampukah teori ini menyusun formula kemakmuran?

Praktik-praktik penerapan positivisme (metode empiris analitis) dalam masyarakat dapat dibenarkan bila sesuai dengan proporsinya, yaitu sejauh untuk memperoleh informasi (data). Contohnya dalam mengkaji persoalan kemiskinan, metode empiris analitis dapat menyumbangkan informasi kuantitatif atau ukuran kemiskinan dan ciri-cirinya. Sementara, proses pelembagaan kemiskinan dapat ditelusur melalui informasi historis atas kemiskinan itu dapat dipahami melalui metode historis-hermeneutis. Sedangkan, metode kritis melihat proses kemiskinan dari dimensi kekuasaan dan merefleksikannya bahwa kemiskinan sangat berkait erat dengan persoalan-persoalan struktur politik sehingga perlu melakukan perubahan sosial.

Akhirnya, apakah kita hanya akan terjebak dan meratapi klaim ketidakberhasilan dengan terus memperdebatkan berapa masyarakat miskin yang terangkat menjadi tidak miskin. Bukankah energi untuk hal itu akan lebih bermanfaat jika sekiranya digunakan untuk merumuskan berbagai strategi guna menyambungkan antara data warga miskin dan hasil telaah tematik masyarakat dalam melihat persoalan kemiskinan yang sampai sekarang masih sulit untuk ditemukan korelasinya? Karena salah satu letak persoalannya di sana.

Dan, marilah sejenak kita merayakan keberhasilan ketika melihat bangunan kegotong-royongan dan partisipasi masyarakat dalam berbagai even penanggulanan kemiskinan di wilayahnya.

Ditulis Oleh: Mohammad Azis, Askot CD Mandiri Kabupaten Trenggalek, OC-6 Jatim PNPM Mandiri Perkotaan



Trenggalek, 2 Juli 2010

Tulisan ini juga dapat anda akses di SINI

Lihat Tulisan Yang Lain



Share |

0 komentar:

Posting Komentar

BannerAdBannerAdBannerAd
Jika ingin mengutip sebagian atau seluruh dari tulisan di sini, maka silahkan. Tetapi jangan lupa tulis dan sebutkan sumbernya. Indahnya berbagi.
 
PNPM Perkotaan Trenggalek © 2010 | Designed by Trucks, in collaboration with MW3, Broadway Tickets, and Distubed Tour
back to top